Selasa, 04 Januari 2011

12 DESEMBER

12 DESEMBER
Oleh: Mindiya
Seminggu lagi tepatnya tanggal 12 Desember sudah cukup lima tahun aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang sangat baik namanya Arfat.Tidak hanya wajahnya yang membuatku mencintai dan memujanya, tetapi juga hati dan tutur katanya yang selalu membuatku damai dan merasa sempurna di sampingnya.Tetapi sudah enam bulan ini dia tidak mengabariku tentang kabarnya.Dia tak pernah lagi mengirim surat padaku.Jangankan surat, pesan singkat (sms)ku saja tak pernah dibalas olehnya.Dua minggu yang lalu aku sempat menelponnya tetapi waktu itu kata penjaga pesantren dia tidak ada di asrama melainkan di Masjid sedang beribadah dan tak dapat diganggu.Lima hari yang lalu aku juga sempat mengirimkan e-mail padanya dan menanyakan bagaimana kabarnya.Tetapi lagi- lagi tak ada balasan darinya.Hatiku sedikit gundah mulai memikirkannya.Pikiran-pikiran yang tidak- tidakpun mulai menghantui pikiranku dan terus menerus membayangiku.Aku tidak dapat menyalahkan dia sepenuhnya atas semua ini.Karena ini merupakan sebuah komitmen kami berdua sebelum dia memutuskan mencari jati dirinya dan mencoba memperdalam agama islam dengan masuk di salah satu pesantren di kota Jakarta, kota kelahiran Arfat.
Saling percaya dan saling menjaga harkat, martabat , nama baik dan kehormatan satu sama lain.Itulah komitmen kami berdua ketika dia memutuskan untuk memperdalam agama.Aku sempat diajak olehnya untuk ikut mencari jati diri dan memperdalam agama islam, tetapi waktu itu aku masih menjadi siswi kelas tiga di salah satu sekolah swasta di Makassar dan aku tak mungkin meninggalkan pendidikan formalku yang tak lama lagi aku akan ujian akhir.Jadi kuputuskan untuk tidak mengikuti langkahnya.Aku tetap menjalani pendidikan formalku dan dia tetap bersikeras berangkat ke Jakarta untuk memperdalam agama.Awalnya aku turut bahagia dengan keputusannya empat tahun lalu itu yang sempat membuyarkan konsentrasiku memikirkan bagaimana diriku nanti setelah dia pergi meninggalkanku sendiri di sebrang pulau yang menjadi kendalaku.Aku tidak dapat menjalani hubungan jarak jauh dengan seseorang, tetapi entah mengapa mungkin karena rasa cintaku yang sangat dalam padanya aku mampu bertahan menjaga hatiku dan terus menunggunya dan berharap suatu saat nanti dia akan kembali padaku sebagai orang yang baru, yang diridhai Allah SWT.
Aku sempat lupa bagaimana wajah guardian angelku yang sekarang.Sudah kurang lebih empat tahun aku tak melihat wajahnya yang sangat polos sama seperti waktu kami bertemu dulu di SMA.Aku dan Arfat satu angkatan.Dan di masa SMA itulah kami bertemu dalam masa orientasi siswa di mana aku dan dia sama- sama murid baru yang polos dan belum ada cinta diantara kami.Aku masih mengingat bagaimana raut wajah menyebalkannya setiap kali dia mencuri bekal makan siangku yang dimasak mama setiap hari untukku.Wajah polos dan sok tidak tahu ketika kutanya di mana bekal makan siangku masih begitu jelas tersimpan di memori ingatanku.ketika dia menjawab dengan manisnya sambil nyengir tidak jelas padaku mengatakan kalau bekal makan siangku sudah almarhum.Seketika itu pula aku tersenyum rada ingin tertawa padanya.Tetapi setiap kali dia mencuri bekal makan siangku dan mengatakan bahwa bekal makan siangku sudah almarhun aku selalu memukul kepalanya dengan tempat bekal makan siangku.Dan setiap aku memukul kepalanya, dia akan langsung mengejarku dan hendak memukul kepalaku pula.Aku masih ingat waktu kami kelas satu SMA, kami pernah dihukum berdua karena tidak sengaja melempar tempat bekal makan siangku ke arah salah satu guru.Mulai hari itu aku sangat membencinya.Karena itu kali pertamanya aku dihukum oleh guru.
Hari-hari kami diwarnai dengan pertengkaran-pertengkaran yang mungkin membuat teman sekelas kami sedikit risih dengan suara gaduh setiap kali kami beradu mulut.Dulu aku sempat berpikir kalau itu adalah hari- hari yang menyebalkan dalam hidupku bisa kenal dan bertemu dengan orang seperti Arfat.Tetapi sekarang aku merasa kalau itu adalah hari- hari terindah yang pernah kumiliki bersamanya.Terkadang aku ingin saat-saat itu terulang kembali.Saat kami beradu mulut berdebat mempertengkarkan sesuatu yang tak penting di bahas, saat di mana kami dihukum lari mengelilingi lapangan karena ulah kami, saat Arfat selalu mencuri bekal makan siangku, saat dia tersenyum nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal setiap tertangkap basah olehku hendak mencuri bekal makan siangku.Aku ingin Arfat yang dulu yang selalu jahil dan seenaknya.Tetapi itu hanyalah keinginanku akan masa lalu yang tak mungkin terulang kembali karena aku sekarang hidup di dunia yang kujalani saat ini yang tak mungkin melangkah mundur ke masa lalu yang selalu kurindukan.
Aku dan Arfat memutuskan untuk mengakui perasaan kami masing- masing yang terpendam ketika kami di kelas dua SMA di mana kami dipertemukan lagi dalam kelas yang sama.Saat itu kami mengungkapkan berjuta gejolak sayang yang mungkin kini menjelma menjadi gejolak cinta yang awet.Waktu itu kami tidak lama lagi akan menjalani ujian semester untuk naik ke kelas tiga.Awalnya bukan dia yang mengungkapkan perasaannya tetapi aku yang terlebih dahulu mengungkapkan padanya tentang perasaanku.Awalnya dia mengatakan padaku kalau aku tidak lebih hanya sekedar seorang teman baginya.Aku terpukul mendengar kata-katanya itu.Hingga aku terus bertahan dan memberikannya waktu selama sepuluh bulan untuk belajar mencintaiku dengan tulus dan mencoba menerimaku apa adanya.Awalnya dia mengatakan kalau dia tidak dapat mencintaiku seperti apa yang kuinginkan.Ketika aku merasa penantianku itu semuanya sia- sia, aku memutuskan untuk berusaha melupakan cintaku padanya dan berusaha meneruskan hidupku yang mulai terombang-ambing karena sikapnya yang selama sepuluh bulan itu cuek padaku.Disaat kumulai menekan perasaanku padanya dan mencoba melupakannya, Tuhan memberikan jawaban lain padaku.Arfat datang padaku dan mengungkapkan perasaannya padaku.Dengan lantang dan keyakinan yang terpancar dari raut dan sinar matanya dia mengatakan kalau dia sayang padaku.Seketika rasanya jantungku meledak-ledak dan mataku terbelalak menatapnya yang nampak yakin dengan kata-kata yang telah keluar dari pikirannya.
Saat itu dia tidak memelukku, dia juga tidak menggenggam tanganku.Dia hanya tersenyum sujata arti padaku seolah cuma akulah yang dapat mengartikannya.Selama setahun kami pacaran di SMA tak pernah kami jalan berdua, pegang-pegangan tangan ataupun melakukan aktivitas yang biasa dilakukan para remaja yang di mabuk cinta pada umumnya.Kami menghabiskan waktu dengan saling mengoreksi diri dan saling mengingatkan serta saling menjaga harkat, martabat dan kehormatan kami sebagai seorang yang beragama.Hingga saatnya dia memutuskan memfokuskan diri mencari jalan untuk dekat pada Sang Pencipta.Awalnya aku merasa aneh dengan siakpnya yang tiba-tiba memutuskan untuk berhenti sekolah dan pergi ke pesantren dengan satu cita-cita yang tak pernah ia katakan padaku.Aku turut senang dan terus memberinya support dengan keputusannya itu.Sebelum ia pergi ke pesantren, ia sempat memberikan usulan untuk tidak melanjutkan hubungan kami, karena Arfat tahu betul kalau aku tidak dapat berhubungan jarak jauh dengan seseorang.Tetapi entah mengapa perasaan yakin apa waktu itu yang merasuki jiwaku dan mengatakan dapat bertahan dan menunggunya sampai kapanpun.Hingga kami bersepakat saling percaya, menjaga diri dan menjaga hati kami yang tercipta untuk saling mencintai satu sama lain.
Awalnya komunikasi kami lancar.Setiap seminggu sekali dia pasti menyempatkan diri untuk menelponku dan menanyakan kabarku.Dan terkadang dia bercanda dan membuatku cemburu kalau dia sedang tertarik pada seorang wanita.Tetapi ketika nada suaraku mulai melemah dia kemudian mengembalikan kekuatanku dan mengatakan kalau itu hanya candanya saja.Komunikasi kami sangat lancar selama tiga tahun belakangan.Tetapi selama dua tahun terakhir ini, komunikasi dengannya sudah sangat sulit.Terkadang sebulan atau tiga bulan sekali dia baru menelponku.Tetapi satu tahun belakangan ini aku tak pernah menerima telepon lagi darinya, melainkan hanya sebuah pesan yang tertulis di e-mailku yang entah mengapa kalau aku merasa itu bukan pesan dari Arfat.Tetapi kuteguhkan hatiku dan berusaha percaya walau membohongi diri kalau itu adalah pesan dari Arfat.Tetapi enam bulan belakangan ini, Arfat sama sekali tak memberikan kabar padaku.Terakhir dia menelponku setahun yang lalu tepat di hari ulang tahunku yang ke 20.Itu terakhir kalinya aku berbicara padanya dan mendengar suaranya yang waktu itu sangat lemah terdengar.Aku tak tahu apa yang terjadi padanya sampai-sampai dia tidak mengabariku selama enam bulan ini.Perasaan cemas bercampur kesal mulai membanjiri pikiranku yang khawatir karenanya.Sejak kepergiannya ke Jakarta, Arfat tak pernah kembali ke Makassar untuk sekedar melihatku.Katanya tak ada kesempatan yang banyak untuk pulang ke Makassar.Lagi pula katanya siapa yang hendak ia singgahi di Makassar sedangkan semua keluarganya telah pindah ke Jakarta bersamanya.
Sudah beberapa bulan perasaanku tidak tenang memikirkan Arfat yang tak juga memberiku kabar.Harapan satu-satuku adalah tanggal 12 Desember.Cuma itulah yang mungkin dapat membuat Arfat menelponku lagi.Tanggal di mana setiap hari itu Arfat selalu menyempatkan diri menelponku dan mengingatkan hari jadi kami yang sangat indah di memori itu.Dan seminggu lagi hari itu akan tiba.Dan aku harap Arfat menelponku dan memberikan kabarnya padaku.Aku tak sabar menunggu hari itu, rasanya ingin kulangkahi tujuh hari untuk segera berhadapan dengan hari itu.Tetapi rasa bahagia hendak menyambut 12 Desember sungguh membuatku selalu dibayang-bayangi rasa takut kehilangan Arfat.Aku yakin Arfat tidak akan meninggalkanku karena perempuan lain, karena aku tahu betul siapa Arfat.Orang yang selalu teguh pada pendiriannya.Seseorang yang sangat setia padaku.Jadi kenapa aku sempat berpikir dan takut akan kehilangan Arfat.
Aku sempat menanyakan kabar Arfat pada Dhigo sahabat Arfat waktu SMA dulu.Tetapi Dhigo selalu berkata padaku kalau dia tak pernah dapat kabar dari Arfat selama dua tahun belakangan ini.Tetapi aku merasa apa yang diungkapkan Dhigo padaku itu semuanya bohong.Aku merasa ada yang dirahasiakan Dhigo dariku tentang Arfat.Mana mungkin seorang sahabat dekat seperti dhigo tidak pernah mendapat kabar dari Arfat.Aku tahu betul, Arfat sangat bergantung pada Dhigo.Waktu SMA dulu setiap Arfat ingin melakukan sesuatu, dia pasti meminta pendapat Dhigo.Dan menurutku tidak mungkin Dhigo tidak tahu apa- apa tentang Arfat.Bagi Arfat, Dhigo adalah saudara baginya.Dan semua rahasia Arfat selalu ditampung ke Dhigo.Aku tahu Dhigo berbohong padaku, karena setiap kali dia berkata kalau dia tak pernah dapat kabar dari Arfat, dia selalu gelisah menjawabnya.
Namun aku berusaha sabar dan tegar menunggu kabar dari Arfat.Hingga hari itu tiba, 12 Desember.Hari itu hujan sangat lebat.Dingin hembusan angin dan suaru gemuruh air langit tak terasa lagi.Seharian ku duduk di depan ponselku berharap ponsel itu berdering dan ada seorang laki-laki yang berbicara dari sebrang sana.Berharap laki-laki itu adalah Arfat.Entah mengapa hari itu aku merasakan perasaan yang aneh menunggu kabar darinya.Tidak seperti biasa aku yang rada tidak terlalu berharap Arfat menelponku tiba-tiba ada hasrat yang bergejolak ingin segera menerima telpon darinya.Kutunggu telponnya tanpa pikiran yang macam-macam dan entah mengapa rasa yakin itu datang dan hati kecilku berkata bahwa Arfat akan datang padaku di hari itu.
Hujan semakin deras, suara gemuruh petirpun mulai mencengkram keheningan berbalut ketakutan di hatiku.Aku terus menatap ke arah ponselku dan sekali-sekali aku berbalik memandangi jam dinding di atas sofa.Tiba-tiba saja lamunanku buyar ketika kudengar seseorang mengetuk pintu sangat keras.Segera kuberanjak dari lamunanku segera membuka pintu.Kupikir itu mama yang telah pulang dari rumah nenek.Tetapi betapa terkejutnya aku ketika kubuka pintu dan melihat seorang lelaki mengenakan peci berwarna hijau dan memegang sebuah Al-Quran yang tak asing bagiku.Itu adalah Al Qur’an yang pernah kuberikan kepada Arfat di hari Ulang tahunnya yang ke 17.Benar, laki-laki itu adalah Arfat.Dengan baju yang basah kuyup dan tubuh yang nampak kedinginan dia tersenyum padaku penuh arti.Seperti senyumannya yang dulu yang seolah hanya akulah yang dapat mengartikannya.Tetapi ada yang aneh dengan Arfat, dia hanya menatapku dengan tatapan kosong dan berkata mengapa aku tak memakai kerudung berwarna merah jambu yang pernah dikirimkannya untukku.Karena merasa aku tak pernah dikirimi kerudung olehnya aku hanya terbengong menatapnya.Dan kemudian dia mengucapkan kata yang selama lima tahun ini aku tunggu.Betapa terkejut dan bahagianya aku ketika Arfat mengatakan dia mencintaiku karena Allah.Kemudian dengan spontan aku menjawabnya bahwa aku juga mencintainya karena Allah.
Melihatnya meringkup kedinginan dan wajah yang mulai pucat, kuambilkan dia selembar pakaian kakak laki-lakiku dan menyuruhnya masuk ganti baju sedang aku menunggu di luar.Dua menit kemudian Dhigo datang dengan wajah yang nampak sangat sedih dan mengatakan padaku sesuatu yang seakan membuat duniaku berhenti.Yang seakan membuat jarum jam berhenti berputar.Kata yang membuat batinku tersiksa hingga sekarang.Dhigo memberitahuku bahwa semalam Arfat meninggal.Rasa tidak percaya dan menganggap itu hanya bualan Dhigo aku hanya menatapnya aneh sambil menangis dan mengatakan dengan bersikeras kalau Arfat sedang ada di dalam rumahku dan datang padaku.Tetapi Dhigo segera menyadarkanku bahwa itu memang benar apa adanya kalau Arfat telah meninggal.Segera kuberlari memasuki rumahku dan mencari Arfat.Ternyata benar, Arfat tidak ada.Batin yang tersiksa dan jiwa yang tak dapat menerima semua itu membuatku tersungkur kaku.Tetapi aku yakin itu adalah Arfat, datang padaku dan mengatakan dia mencintaiku karena Allah.
Hari itu Dhigo berterus terang padaku bahwa ketika Arfat memutuskan ke Jakarta dan ingin memperdalam ilmu agama di pesantren, itu adalah semata-mata karena penyakit kanker otak yang di deritanya selama lima tahun belakangan ini.Arfat ingin lebih dekat pada sang Pencipta dan memanfaatkan sisa umurnya hanya untuk sang Pencipta.Dan dua tahun belakangan ini ketika aku mulai kehilangan komunikasi dengan Arfat, sebenarnya Arfat sedang menjalani pengobatan serius di Singapura.Dan selama enam bulan belakangan ini Arfat tak memberiku kabar karena Arfat koma selama enam bulan hingga malam itu Arfat dipanggil pada Yang Kuasa.Dhigo juga mengaku bahwa pesan singkat di e-mailku itu bukanlah pesan dari Arfat melainkan dari Dhigo yang diberi amanat sebelumnya pada Arfat untuk membalas semua pesanku dan menjagaku ketika suatu hari Arfat sakit parah.Hari itu 12 Desember, hatiku hancur dan seakan tak percaya bahwa rasa takutku kehilangan Arfat itu terjadi.Dhigo kemudian memberiku sebuah kotak berwarna biru berisi kerudung berwarna merah jambu dan pesan yang di tulis Arfat untukku setahun yang lalu dalam sebuah surat.


Untuk Kekasihku, Dhea……..
Assalamualaikum wr.wb………………….
Dhea, mungkin surat ini adalah surat terakhir dariku untukmu
Kamu tak akan mengerti apa yang akan terjadi padaku dan aku tak ingin kamu mengerti itu semua.
Suatu saat ketika aku tak dapat lagi menemanimu, jadilah perempuan beriman yang tegar
Aku tak ingin sebutir air matamu terbuang karenaku
Tentu kamu sudah tahu kalau aku tak akan pernah sanggup melihat kamu menangis
Jika Allah masih menginginkan kita untuk merajut tali pernikahan di hari nanti seperti impian kita
Pasti kita akan dipertemukan lagi, namun mungkin bukan di dunia ini
Jika kita tak dikehendaki bersama dan saling memenuhi syariat islam di dunia ini
Mungkin kita akan dipertemukan di tempat yang lebih indah dari dunia
Kerudung ini aku beriakan padamu dan aku berharap atas hidayah Allah dan karena Allah
Suatu saat kau dapat memakainya sebagai perempuan yang salehah
Aku mencintaimu karena Allah dan aku harap kamu juga mencintaiku karena Allah
Aku mencintai Allah dengan sepenuh jiwaku dan aku yakin Allah akan mencintaimu
Jika kau juga mencintaiNya melebihi cintamu padaku.
Selamanya kau adalah bulanku yang akan bercahaya walau tanpa kilau bintang
Maaf, jika disisa hidupku tak dapat kuberikan seutuhnya padamu
Aku mencintaimu Dhea…………………………………………
Kekasimu Arfat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar